Rabu, 09 Januari 2013

TUGAS 8 Artikel Dampak Perubahan Sosial ( Kenakalan Remaja )

JAKARTA, KOMPAS.com - Maraknya kasus kekerasan dalam dunia pendidikan disebut KPAI karena metode penyelesaiannya yang dilakukan secara parsial. Tanggung jawab hanya diserahkan kepada pemangku kebijakan di dunia pendidikan saja, tanpa ada keterlibatan seluruh elemen bangsa.

"Sesungguhnya, maraknya kekerasan di sekolah, merupakan puncak gunung es dari kondisi masyarakat Indonesia yang sedang 'sakit', krisis keteladanan," kata Ketua Divisi Sosialisasi KPAI Asrorun Ni'am Sholeh di Kantor KPAI, Jakarta, Kamis (27/9/2012).

Saat ini, menurutnya, yang dicontohkan dan dipertontonkan di lingkungan sekitar anak banyak berupa tradisi kekerasan, baik fisik maupun mental. Kekerasan pun dengan mudah dilihat, didengar, dan dirasakan anak-anak, baik di lingkungan rumah, sekolah, masyarakat yang dipertontonkan di depan publik melalui media massa. 

Selain itu, tutur Asrorun, permainan (games) anak juga didominasi kekerasan tanpa regulasi yang memadai. Akses terhadap kekerasan demikian mudah, yang kemudian diimitasi anak-anak yang sedang mencari teladan.

Asrorun meminta kasus tawuran antar pelajar jangan hanya dibaca secara parsial dan tambal sulam. Tanggung jawab penyelesaiannya pun butuh keterlibatan keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah. 

Salah satu solusi dalam menangani kasus ini menurut KPAI ialah mewujudkan kebijakan nasional Sekolah Ramah Anak sekarang juga. 

"Sekolah ramah anak butuh keterlibatan semua elemen bangsa, intinya mengedepankan kepentingnan anak," jelas Asrorun. 

Pertama, bagi pihak sekolah, perlu memberikan pendidikan berbasis pada keteladanan (modelling) serta eksplorasi nilai-nilai peradapan yang berbasis pada agama dan nilai luhur bangsa. Sekolah juga harus mengintegrasikan pendidikan formal dan non formal. 

Kedua, pihak keluarag juga tidak boleh menyerahkan seluruh proses perkembangan dan pendidikan anak kepada sekolah tanpa adanya perhatian dan kontrol yang memadai. 

"Data KPAI dalam investigasi kasus tawuran SMA 6 dan SMA 70, diduga tersangka pelaku merupakan siswa SMA Negeri 70 Jakarta, tidak tinggal bersama kedua orang tuanya, melainkan tinggal di kos dan berpindah-pindah. Hal ini menyebabkan kontrol orang tua terhadap anak sangat longgar," jelas Asrorun. 

Ketiga, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mewujudkan pendidikan bebas kekerasan. Investigasi KPAI menemukan bahwa siswa yang akan tawuran menitip senjata tajam berupa cerulit, parang, sabuk gir, dan samurai, di warung-warung dan pedagang kaki lima di sekitar sekolah lalu mengambilnya saat tawuran. Hal tersebut menjadi salah satu gambaran minimnya keterlibatan masyarak dalam mengontrol prilaku anak.