Kamis, 27 September 2012

TUGAS 1 Hal 151 AKTIVITAS

SEPUTAR MASYARAKAT MAYORITAS DAN MINORITAS

Mayoritas dan minoritas adalah terminologi sosiologis untuk merujuk kuantitas individu yang berhimpun dalam suatu kesatuan etnisitas. Sebagai sebuah konsep, istilah ini sering digunakan untuk membangun kerangka analisis relasi sosial satu kelompok dengan kelompok yang lainnya.
Sebagai sebuah diksi, mayoritas-minoritas sesungguhnya sudah mengandung makna politik di mana yang satu merujuk pada kumpulan individu yang berjumlah banyak dan biasanya lebih supreme dalam banyak hal; sedangkan yang satu lagi merujuk pada kumpulan individu yang lebih sedikit, yang secara kuantitas tidak mungkin lebih supreme dari yang mayoritas.
Kumpulan banyak individu dan kumpulan sedikit individu sejatinya merupakan fakta sosiologis sebuah komunitas. Karena itu, sejatinya pula siapapun yang berhimpun dalam kelompok manapun tetap memiliki hak, kesempatan, dan akses yang sama dalam segala hal. Namun demikian, ketika soal mayoritas-minoritas hadir di tengah kontestasi politik sebuah bangsa, maka kedua terminologi ini semakin menampakkan makna poltiknya. Istilah relasi mayoritas versus minoritas merupakan rangkaian kata yang meletakkan kedua istilah itu saling berlawanan karena itu relasi keduanya harus didesain agar tetap terbangun hubungan yang harmonis, tanpa diskriminasi, dan meletakkan siapapun yang berhimpun di dalamnya tetap setara.

Dalil Mayoritas

Dengan menggunakan cara pandang di atas, semestinya bangsa Indonesia tidak lagi mengidap soal terkait relasi mayoritas-minoritas dalam hidup berbangsa. Apalagi Konstitusi RI secara tegas meletakkan seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki hak dan jaminan konstitusional yang sama. Tapi, perkembangan mutakhir dalam kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang mencemaskan. Daftar kecemasan muncul dari kecenderungan intoleransi sesama warga yang semakin eskalatif. Tindakan intoleran mewujud dalam banyak hal: 28 rumah ibadah diserang, disegel atau dirusak sepanjang Januari-Juli 2010 (SETARA Institute, 2010), penghalang-halangan kegiatan ibadah, tiga peristiwa penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah sepanjang bulan Juli, bentrokan organisasi masyarakat berbasis identitas tertentu, dan berbagai bentuk penghakiman massa lainnya.
Daftar kecemasan juga mewujud melalui kehendak politik sejumlah elit politik, organisasi massa berbasis agama, dan dukungan manipulatif massa di berbagai wilayah yang menghendaki penerapan norma agama tertentu (baca: syariah Islam) melalui produksi peraturan perundang-undangan. Semua tindakan intoleran dan kehendak politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas semuanya didasarkan pada logika mayoritas. Semua tindakan dan kehendak politik itu dinilai sahih karena dalil mayoritas. Sementara para korban tindakan intoleran dianggap sahih dan menjadi sasaran penyeragaman karena secara sosiologis dianggap minoritas. Argumen ‘sesat’ dan mengganggu ‘ketertiban umum’ adalah pembalut niat menegaskan identitas politik kelompok mayoritas.
Dimensi sosiologis dalam produksi sebuah kebijakan dan penegakannya telah menjadi pertimbangan pertama dan utama oleh para penyelenggara negara meski mengingkari Konstitusi RI dan fakta sosiologis itu sendiri. Bagaimana mungkin sebuah negeri yang menganut paham konstitusional para penyelenggaranya tunduk pada tekanan dan persekusi massa! Berbagai gambaran peristiwa yang terjadi belakangan menampakkan secara jelas bagaimana logika mayoritas bekerja.
Memang dalam disiplin Ilmu Hukum dan Ilmu Perundang-undang dimensi sosiologis menjadi variabel penilai kepekaan sebuah produk perundang-undang. Semakin peka dan akomodatif terhadap kebutuhan publik maka produk hukum dan penegakan hukum semakin mampu mengikis resistensi publik. Apalagi salah satu tujuan pembentukan produk hukum adalah menjawab kebutuhan publik. Tapi penempatan dan penggunaan argumen sosiologis tanpa batas tentu saja bukan desain yang diharapkan dari kajian Sosiologi Hukum.

Kesadaran Orsinal

Kecenderungan mutakhir menguatnya arus politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas sesungguhnya telah diingatkan oleh founding fathers negara-bangsa Indonesia. Perdebatan sehat yang terjadi di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di tahun 1945 menggambarkan bagaimana para Pendiri Bangsa memiliki kesadaran orsinal dalam meletakkan bangunan relasi mayoritas-minoritas. Upaya menyusun Konstitusi RI yang mampu mengakomodasi semua golongan dan menjamin hak-hak asasi manusia tanpa terkecuali bukanlah bentuk kekalahan politik golongan Islam atas golongan Kebangsaan. Tapi justru bentuk kesadaran orsinal wakil-wakil dari golongan Islam yang mayoritas.
Para Pendiri Bangsa menyadari fakta sosiologis bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural dan tidak mungkin diseragamkan apalagi dengan menggunakan instrumen konstitusi negara. Demikian juga kesadaran orsinal itu mewujud pada, meskipun pada dasarnya setiap warga yang beragama berkewajiban menjalankan ajaran-ajarannya tapi pencantuman pewajiban melaksanakan ajaran agama dalam Konstitusi RI akhirnya dihilangkan. Kesadaran orsinal semacam ini yang sekarang telah terkikis dalam kehidupan berbangsa. Bukan saja di kalangan masyarakat umum tapi juga di kalangan para penyelenggara negara itu sendiri.
Berbagai tindakan intoleran dan kehendak politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas semakin subur di tengah kemiskinan ide dan kapital politik para elit politik. Elit politik berkepentingan terhadap dukungan publik atas kepemimpinannya, sehingga dalil mayoritas menjadi pembenar langkah pemerintah mengambil sebuah keputusan, meski keputusan itu inkonstitusional. Sementara kelompok penekan dan pelaku persekusi memiliki kepentingan untuk secara terus menerus mendongkrak bargaining position di hadapan elit politik dan juga di aras publik.
Impunitas pelaku kekerasan atas nama agama secara nyata telah menjadi preseden bagi kelompok lain di tempat lain untuk melakukan hal serupa. Ketidakmampuan institusi negara menghukum pelaku kriminal telah berkontribusi pada eskalasi tindakan intoleran.
Merawat Indonesia yang plural, toleran, dan damai hanya bisa dilakukan jika elemen bangsa mampu menumbuhkan kesadaran orsinal untuk mengakui keberagaman, membiarkannya berbeda, dan menegaskan jaminan bagi setiap orang memiliki hak, kesempatan dan akses yang setara.

Selasa, 25 September 2012

TUGAS 2 Hal 151 ANALITIK

DI FATUULAN, GENERASI MUDA DAN TUA BERJARAK,
KEMUDIAN BERSAMA

Membicarakan pemuda seperti memacak diri di depan kaca karena bagi kelompok yang lebih muda, kegiatan ini biasanya menggugah mereka untuk melakukan sesuatu yang lebih baik di waktu mendatang. Sebaliknya, bagi anggota masyarakat yang berusia tua, hal ini seperti mengkilas balik hidup mereka dan membandingkannya dengan yang sekarang. Hal itulah yang terjadi di Desa Fatuulan, 12 Agustus 2005 yang lalu, ketika sebanyak 164 anggota masyarakat berkumpul dan memperingati Hari Pemuda Sedunia.
Di desa yang terletak di kecamatan Kie ini, CWS Indonesia mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan itu, dibentuk kelompok masing-masing yang mendiskusikan masalah-masalah kepemudaan yang terjadi di desa Fatuulan, apa penyebabnya, dan bagaimana pemecahannya. Menarik sekali memperhatikan jawaban-jawaban yang terlontar, apalagi karena mereka yang berdiskusi, berasal dari generasi-generasi yang berbeda. Hal yang menjadi masalah bagi kelompok generasi muda ternyata berbeda jika dilihat dari kacamata tokoh adat, tokoh agama, dan pemerintah.
Minuman keras misalnya, menempati prioritas pertama yang dianggap pemuda sebagai masalah, sedangkan bagi kelompok pemerintah dan tokoh agama masalah utama dalam masyarakat adalah masalah hamil di luar nikah. Mereka malah tidak melihat minum minuman keras sebagai masalah. Jadi, memang harus diakui, hal ini menunjukkan bahwa ada jurang yang cukup besar antara generasi muda dan tua.
Perbedaan pandangan antar generasi jugalah yang terlihat ketika mereka mendiskusikan masalah hamil di luar nikah. Pemuda melihat masalah itu sebagai kurangnya perhatian dari orangtua dan tidak adanya persetujuan dari orangtua atas pasangan yang dipilihnya. Sementara, kelompok yang lebih tua memandang bahwa masalah itu disebabkan oleh pemuda itu sendiri yang terlalu bebas bergaul, atau penipuan dari laki-laki yang meniru perempuan yang diincarnya. Lagi-lagi, tampak perbedaan sudut pandang antar dua generasi ini. Demikian juga dari sisi solusi. Pemuda mengharapkan adanya komunikasi yang lancar dari orangtua untuk memecahkan masalah ini. Generasi tua umumnya mengambil jalan 'pembinaan' sebagai penyelesaiannya.
Nah, kasus di atas hanya secuil dari segudang fakta yang menggambarkan jarak antara pemuda dan generasi sebelumnya. Masih ada lagi hal lain, seperti pemuda merasa selama ini tidak dilibatkan dalam rapat-rapat desa. Hal ini kemudian ditanggapi positif oleh kelompok pemerintah dengan mengajak para pemuda untuk membentuk badan pengurus pemuda tingkat desa, sehingga aspirasi mereka tertampung.
Akhirnya, aktivitas yang berlangsung dengan kritis selama 6 jam dan diikuti 74 orang pemuda serta 90 orang generasi tua ini, ditutup dengan berdansa poloneis. Dansa poloneis merupakan tarian rakyat Timor, sebagai tanda kebersamaan antardua generasi, bukan untuk berjarak.

Pertanyaan diskusi :
  • Apa yang menjadi penyebab perbedaan cara pandang antara kelompok generasi tua dan kelompok generasi muda ?
jawab : Karena terpengaruh oleh perkembangan zaman dan kemajuan teknologi.
  • Bagaimana pola hubungan keduanya ?
jawab : Hubungan kedua kelompok itu awalnya saling bertentangan dan berbeda pendapat tapi akhirnya mereka bisa berdamai kembali dan melakukan dansa bersama
  • Apa solusi terbaik agar kedua kelompok dapat hidup dinamis dan harmonis ?
jawab : Solusinya, jika muncul satu masalah kecil seharusnya segera di bicarakan secara baik-baik agar tidak menimbulkan pertentangan. Dan jika ada hal yang memang harus di musyawarahkan sebaiknya segera di musyawarahkan daripada harus di selesaikan secara individual.